Pengkhianatan Intelijen Negara: Pembunuhan Karakter Presiden Jokowi dan Keluarga.

Nov 12, 2023

Pengkhianatan Intelijen Negara terhadap Presiden, yang terjadi untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, melibatkan pelanggaran prinsip loyalitas intelijen terhadap pemimpin tertinggi negara. Menurut teori intelijen, hubungan antara intelijen dan kepemimpinan negara memerlukan loyalitas total terhadap pengguna intel, seperti Presiden. Dalam situasi perbedaan pandangan, seharusnya dilakukan pelaporan yang memberikan peringatan terhadap keputusan Presiden yang mungkin tidak menguntungkan bagi negara. Meskipun demikian, intelijen tetap bertugas untuk mendukung dan membantu Presiden dalam pengambilan keputusan yang tepat.

Sejarah mencatat berbagai dinamika hubungan antara Pimpinan Intelijen Negara dan Presiden. Contohnya, hubungan antara Zulkifli Lubis dan Presiden Sukarno, Yoga Soegama dengan Presiden Suharto, LB Moerdhani dengan Presiden Suharto, Sudibyo dengan Presiden Suharto, Moetojib dengan Jenderal Suharto, Arie Kuma'at dengan Presiden Abdurrahman Wahid, Marciano Norman dengan Presiden SBY, dan Sutiyoso dengan Presiden Jokowi. Meski mengalami tantangan, kepala intelijen selalu mempertahankan loyalitas penuh terhadap Presiden, tanpa mengambil langkah politik yang dapat merusak stabilitas selama masa jabatannya.

Sebagai contoh yang baik, sikap Moetojib pada masa pemerintahan Presiden Suharto menunjukkan dukungannya terhadap Megawati Sukarnoputri dengan cara yang elegan dan terhormat. Moetojib tidak mengkhianati Presiden Suharto selama masa kekuasaannya, bahkan menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap rencana operasi Kudatuli, yang akhirnya menyebabkan dirinya lengser dari jabatannya. Setelah keluar dari kekuasaan, Moetojib baru mengambil langkah-langkah untuk mendukung Megawati Sukarnoputri.

Perbandingan dengan situasi saat ini sangat mencolok, di mana Presiden Jokowi dan keluarganya mengalami serangan melalui operasi intelijen politik yang bertujuan merusak popularitasnya. Tujuan dari serangan ini adalah agar dukungan dari Presiden Jokowi tidak memberikan manfaat bagi pasangan Prabowo-Gibran. Sementara itu, Operasi Pandawa/Penis Loyo, yang bertujuan memenangkan Ganjar-Mahfud, telah berlangsung selama lebih dari setahun dengan berbagai kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), dan tingkat kesuksesannya dapat dipastikan mencapai target kemenangan sebesar 60%+1.

Benar bahwa sebagian kecil elit politik merasa kecewa dengan penunjukan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Wakil Presiden Prabowo Subianto. Sementara itu, beberapa kalangan akademisi dan praktisi hukum yang mendukung PDI-P juga menyatakan kekecewaan dan kritik. Meskipun begitu, mayoritas rakyat Indonesia meresponsnya dengan biasa saja, bahkan merasa simpatik setelah mendengarkan pidato perdana Gibran Rakabuming Raka, melihat potensi positif dari generasi muda Indonesia untuk membawa kemajuan di masa depan.

Reaksi negatif terhadap Presiden Jokowi dan keluarganya sebagian besar diinisiasi oleh BIN dan PDI-P, sementara sedikit pula berasal dari musuh politik Jokowi yang menyampaikan pandangan kritis. Jika reaksi dan langkah-langkah kritis tersebut berlangsung secara wajar, mungkin tidak menarik perhatian secara luas. Namun, karena adanya upaya sistematis dan masif untuk merusak citra Presiden Jokowi, terlihat seperti masyarakat memberikan reaksi besar dan negatif terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi yang dituduh melakukan nepotisme dalam putusannya.

Berikut adalah bukti-bukti yang mendetail mengenai operasi intelijen politik BIN yang bertujuan membunuh karakter Presiden Jokowi dan keluarganya:

Mari kita teruskan dengan membuktikan operasi pembunuhan karakter Presiden Jokowi dan keluarganya, melalui jejak digital maupun non-digital yang mudah ditemukan di berbagai tempat.

1. Meningkatnya penyebaran meme Mahkamah Keluarga Jokowi secara tidak wajar melalui berbagai platform media sosial. Meme-meme ini, bersama dengan narasinya yang tersebar luas di masyarakat, merupakan hasil kombinasi dari beberapa individu PDI-P, sejumlah akademisi dan praktisi, serta reaksi spontan netizen. Namun, dengan sentuhan ahli provokasi dari BIN, efeknya menjadi lebih besar bahkan mengarah pada upaya pemakzulan terhadap Presiden Jokowi. Semua ini merupakan hasil kreativitas dari Tim Khusus BIN, yang dikelola secara profesional oleh Tim Bathara Guru, Tim Ibu Ninik, dan Tim Siber yang mendukung operasi Satgas Pandawa/Penis Loyo.

2. Selain meme satir, termasuk yang sangat kasar, juga dikembangkan pandangan para ahli yang sengaja didorong untuk menciptakan opini negatif terhadap MK dan Presiden Jokowi. Operasi ini berada dalam kendali operasi cipta opini dan cipta kondisi (cipop cipkon), didukung oleh Tim BIN di seluruh Indonesia, sehingga sebarannya menjadi luar biasa. Bahkan, terdapat keanehan ketika sorotan jatuh kepada keluarga Jokowi dari kantong-kantong suara pendukung fanatik Jokowi. Tujuannya sekali lagi adalah melemahkan popularitas Jokowi, sehingga endorse Jokowi terhadap paslon Prabowo-Gibran memiliki dampak yang minimal.

3. Melalui Tim Darat BIN di seluruh Indonesia, dilakukan penggalangan opini untuk menyajikan pasangan Ganjar-Mahfud sebagai sosok yang baik, sementara merendahkan figur Prabowo-Gibran sebagai sosok yang merugikan demokrasi. Padahal, kenyataannya kecurangan operasi intelijen politik BIN untuk memenangkan Ganjar juga merupakan ancaman serius terhadap demokrasi. Harap diingat, kontestasi pilpres tidak akan berjalan jujur dan adil jika BIN tidak dihentikan dari melakukan operasi intelijen politik.

4. Kemenangan Ganjar-Mahfud bagi BIN dianggap sebagai kewajiban karena BIN bersama PDI-P adalah pendorong utama kemajuan Ganjar Pranowo. Sosok Mahfud dipilih oleh Ketum PDI-P berdasarkan berbagai masukan. Pada tahap awal sosialisasi Ganjar sebagai calon Presiden 2024, sosok misterius dari pejabat BIN dan mantan pejabat BIN terlihat selalu mengawal Ganjar. Menurut informasi dari Opposite 6890, mereka adalah Tim Delta.