Mahfud Disebut Pernah Langgar Etika saat Jadi Ketua MK

Des 21, 2023

Isu yang sedang viral di media sosial adalah tentang klaim bahwa calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD, pernah terlibat dalam sebuah kasus konflik kepentingan saat menangani suatu perkara ketika menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut informasi yang disampaikan oleh akun Tiktok @keadilan dan @matinyakeadilann hari ini, Kamis (21/12/2023), kasus yang dibicarakan adalah Pengujian Undang-Undang (PUU) dengan Nomor Perkara 7/PUU-XI/2013. Kasus PUU tersebut berkaitan dengan batasan usia maksimum bagi hakim konstitusi.

Gugatan tersebut diajukan oleh dua individu yang bernama Andi Muhammad Asrun dan Zainal Arifin Hoesein, yang memiliki keinginan untuk menjadi hakim Mahkamah Konstitusi pada masa tua mereka.

Namun, keputusan tersebut tidak konsisten. Salah satu hakim konstitusi, Harjono, memberikan pendapat yang berbeda atau dissenting opinion. Harjono menyatakan bahwa Pengujian Undang-Undang seharusnya menilai sifat non-negara (negawaran) dari seorang hakim Mahkamah Konstitusi sesuai dengan Pasal 24c ayat (5) UUD 1945 karena hal tersebut terkait dengan kepentingan pribadi daripada kelembagaan Mahkamah Konstitusi.

Keputusan tersebut sejalan dengan putusan dalam kasus nomor 90/PUU-XXI/2023 yang berkaitan dengan batasan usia minimal calon presiden dan wakil presiden yang diambil saat Anwar Usman menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi.

Kesamaan di antara keduanya adalah bahwa keduanya memutuskan kasus yang terkait dengan batasan usia. Perkara yang ditangani oleh Mahfud terkait dengan batas usia maksimal bagi hakim Mahkamah Konstitusi.

Kemudian, keduanya juga mengambil keputusan dalam kasus open legal policy yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah dan DPR. Selain itu, keduanya menggunakan aspirasi atau harapan warga negara sebagai alasan yang mendasari permohonan dalam putusannya.

Dalam kasus batasan usia minimal untuk calon presiden dan wakil presiden, permohonan diajukan oleh Almas Tsaqibbirru, anak dari aktivis anti-korupsi Boyamin Saiman. Sementara dalam kasus yang ditangani oleh Mahfud, permohonan berasal dari dua individu yang memiliki keinginan untuk menjadi hakim Mahkamah Konstitusi.

Kemudian, keduanya menghadapi situasi konflik kepentingan. Anwar memutuskan dan menjadi satu-satunya hakim yang mengambil keputusan dalam kasus yang melibatkan keponakannya, sedangkan Mahfud dan seluruh hakim pada saat itu, kecuali Hakim Harjono, terlibat dalam memutuskan kasus yang berhubungan dengan diri mereka sendiri.

Sebelumnya, Anwar Usman, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, pernah menyatakan bahwa Mahfud terlibat dalam pelanggaran etika saat memutuskan kasus Putusan Nomor 48/PUU-IX/2011 dan Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011. Mahfud telah menyangkal klaim tersebut.

Pada tahun 2008, Mahfud juga terlibat dalam kontroversi terkait isu etika, yang berhubungan dengan pengujian materi Undang-Undang Perfilman.

Ketika masih menjadi anggota Dewan, Mahfud turut menandatangani pandangan hukum DPR yang menyatakan bahwa Undang-Undang Perfilman tidak melanggar konstitusi. Namun, setelah menjadi hakim Mahkamah Konstitusi, ia harus memutuskan kasus yang sebelumnya telah ditandatanganinya.

Komite yang dihormati, pandangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tentang pengujian UU No. 8 Tahun 1992 mengenai Perfilman, khususnya Pasal 1 angka 4, Pasal 33, dan Pasal 34, sebenarnya tidak melanggar konstitusi kita sama sekali. Ini merupakan bagian dari pandangan yang turut disetujui oleh Mahfud.

Saat Mahfud berpindah tugas, ia kemudian harus menghadapi dan mengambil keputusan terkait kasus tersebut. Situasi ini menimbulkan dugaan adanya konflik kepentingan.

Mahfud mengakui potensi konflik kepentingan setelah dia dilantik menjadi hakim. Ia menyadari bahwa dia telah menandatangani respons DPR terhadap pengujian UU Perfilman, yang mengakui keterpatuhan undang-undang tersebut. "Saya menyadari adanya sedikit conflict of interest," ujar Mahfud setelah serah terima jabatan dengan Hakim Konstitusi Achmad Roestandi pada tahun 2008.